Sabtu, 18 Februari 2023
Pagi yang sibuk hari Sabtu yang biasanya tenang. Nakdis mau ikutan lomba mewarnai dalam rangka memperingati hari Isra' Mi'raj yang diadakan di mesjid kompleks. Otomatis hari leyeh-leyeh sedunia mendadak berubah sibuk. Yang mau ikut lomba siy cuma satu orang tapi nyiapin supporternya gak kalah hebohnya π
. Drama buuk.. mulai dari ngebangunin, siap-siap, sampai akhirnya bisa berangkat tepat mepet waktu.
Sampai di tempat lomba tepat pukul 07.30 WIB. Udah keliatan beberapa peserta yang datang. Liat peserta lainnya maknya keder duluan. Anak lain pada bawa perlengkapan tempurnya keren-keren. Crayon versi lengkap, isinya 24 sampai 72 pcs, bahkan ada yang komplit dengan spidol warnanya sekalian. Mejanya juga bagus-bagus euy. Nah, giliran ni nakdis cuma bawa crayon kecil isi 12 pcs itupun pinjam crayon abangnya, crayonnya yang lain dah pada tamat riwayatnya, udah pada patah-patah karena keseringan dipakai dan dimainkan, iyaa.. dimainkaan... bukan hanya untuk mewarnai, tapi sebagai properti mainanπ . Mejapun pinjam meja abgnya yang sudah orat-oret. Namun balik lagi, ini tentang anak, bukan tentang orang tua. Anaknya fine-fine aja kenapa maknya yang musti rempong ya kaan...
Pukul 08.00 WIB acara dibuka oleh MC, dan tepat pukul 08.30 WIB kegiatan lomba mewarnainya dimulai.Daaannn.....perjuangan itupun dimulai. Meja dan crayon sudah diposisikan. Tapii... Nakdis mendadak mogok. Tidak mau pegang crayon sama sekali. Balik ke belakang dan peluk mamanya. Pelukannya terasa intens sekali. Baiklah mak.. atur napas dulu yaa... Maknya harus mikir strategi ni. Aku mencoba bertanya kenapa, tapi tidak dijawab. Ok. Aku peluk aja dulu. Setelah beberapa menit terasa napasnya mulai tenang, namun pelukannya masih kuat.
Aku coba tanya lagi, "Cia merasa apa? Cia takut?"
Dia menggeleng.
"Trus Cia merasa apa?"
"Cia malu." Jawabnya dengan suara pelan.
"Perasaan malunya banyak atau sedikit?" aku bertanya lagi. Dia memang sudah kami biasakan berbicara tentang perasaan dan menggambarkan seberapa intens perasaan itu.
"Banyak." katanya.
"Ya udah, sini mama peluk dulu." Dipeluk beberapa menit lagi sambil dielus-elus punggungnya. Terasa pelukannya mulai melonggar. Aku ajak main, dia suka digelitik. Sampai tertawa-tawa. Pas udah tenang. Aku tawarkan untuk mencoba lagi.
"Kita coba yuk mewarnainya."
Nakdis turun dari pelukan dan duduk di depan mejanya. Terlihat ragu, namun mencoba mulai mewarnai. Namun baru sesasat dia balik lagi.
"Cia masih malu." katanya.
Ondee.. Sabar maakk... Bener-bener ujian kesabaran ini π
"Ok. Malunya banyak atau sedikit?" aku bertanya
"Tinggal sedikit. Gak sebanyak tadi, tapi masih malu." jawabnya masih dengan suara pelan.
"Ok. Apa yang bisa mama bantu biar perasaan malunya berkurang?"
"Cia mau dipeluk lagi, trus kita main-main lagi."
Baiklaahh... Lanjut yaaa... Mak peluk lagi.
Semenit... Dua menit... Maknya mulai gak sabaran. Udah 15 menit berlalu sejak lomba dimulai. Melihat anak-anak lain sudah menampakkan hasil karyanya mak mulai uring-uringan. Ni anak punya potensi, masa gagal karena gak dicoba. Chance-nya ada untuk menang ini. Sampai kapan harus dipeluk begini? Masa harus pulang gitu aja tanpa mencoba. Berkecamuk isi kepala mamanya. Pengen rasanya nyerah aja deh, tarik dia pulang dan bilang yaudah kita gak usah ikut lombanya aja. Tarik napas maaak.. Sabaarr... Giliran maknya memvalidasi diri. Tujuan ikut lomba ini bukan tentang kamu, tapi tentang anak. Bukan tentang hasil, tapi tentang belajar berani, tentang menumbuhkan kepercayaan diri, tentang menyadarkan anak akan potensinya. Emaknya yang dari kecil udah sering ikutan lomba ini itu, kadang susah relate sama kondisi anaknya yang pemalu di keramaian begini. Namun balik lagi, ini tentang anak, tentang mendampingi mereka.
Setelah beberapa lama dipeluk, dia berbisik, "Main yuk, Ma."
Jadilah kita main lagi. Digelitik-gelitik sampai tertawa-tawa. Sampai dia merasa tenang, dan merasa siap untuk melanjutkan lomba.
Finally, setelah 20 menit berlalu sejak lomba dinyatakan dimulai, nakdis mau melanjutkan mewarnai lagi. Tapi masih ada syaratnya, tasnya diletakkan di atas meja agar tertutup, tidak dilihat orang lain, mama tetap duduk di belakangnya, dan abang-abangnya tidak boleh lihat dia mewarnai. Ada angin segar ini sepertinya.
Namun ternyata, perjuangan belum berakhir. Ketika disampaikan keinginan adeknya kepada abang-abangnya, Si sulung tanpa banyak protes langsung mau diajak kerjasama. Dia duduk di belakang dan tidak melihat adiknya mewarnai. Nah, giliran my midle love yang super duper pecicilan, diminta gak usah liat adeknya malah makin mendekat. "Sayyid mau lihat Wafiyya", katanya. Hufft.. tarik napas maaak... jangan sampai hilang kendali. Ayo pikirkan caranya.
"Eh, kita ngobrol yuk. Kemaren di sekolah Sayyid ada lomba juga kan? Lomba apa?" Aku berusaha mengalihkan perhatiannya.
Bla.. blaa... Blaa... Dia mulai bercerita. Beberapa saat dia lupa. Tapi jangan keburu senang dulu Marimar. Ini tentu tidak bertahan lama. Hanya selang beberapa menit dia mulai aktif lagi. Mau mengganggu adiknya lagi. Pusing mak.
Baiklah. Tampaknya senjata pamungkasnya harus dikeluarkan ini.
"Ya udah. Sayyid sama abang Syabil main HP aja di teras mesjid ya. Jatah hari ini belum dipakai kan? 30 menit yaa."
"Siaapp". Dengan sigap mereka langsung meluncur. Tenggelam dengan HP nya. Aman. Mak tinggal fokus kepada nakdis aja lagi.
Keliatan nakdis sudah mau mewarnai. Tapi sesekali masih melihat ke belakang memastikan keberadaan mamanya. Kadang-kadang memperlihatkan progress mewarnai, sekedar minta validasi kalau yang dikerjakannya sudah bagus. Dan sesekali mundur ke belakang untuk sekedar minta high five atau fist bump. Semangat naak... Kamu sedang berproses.
Setelah beberapa lama berlalu dia mulai fokus. Kemudian melihat ke belakang dan berkata, "Udah gak malu lagi, Ma. Tadi awalnya malunya banyak, trus tinggal sedikit, sekarang udah gak malu lagi."
Dia menurunkan tasnya dari meja agar lebih leluasa. Terlihat makin fokus. Ketika anak-anak yang lain sudah pada selesai, dan lari-larian. Dia tidak terpengaruh sama sekali. Tetap fokus ke gambarnya.
Alhamdulillah. Maknya lega luar biasa. Sepertinya dia sudah berada di mode on fire-nya. Dia kembali datang ke belakang, tapi kali ini bukan minta pelukan lagi, tapi minta bantuan untuk menggulung lengan bajunya. Biar lebih enak mewarnainya katanya. Sebuah progress besar untukmu hari ini, nak.
Finally, 1 jam berlalu sejak lomba dimulai. Panitia mengumumkan kalau waktu mewarnai sudah habis. "Mesjidnya sudah diwarnai, Ma. Tapi latarnya belum." katanya.
"Gak papa, ini aja sudah sangat bagus." kataku menyemangati.
Kemudia dia mengumpulkan hasil karyanya ke panitia.
Menunggu pengumuman anak-anak minta untuk ke food court. Minta jajan katanya. Ya udah, kayaknya kita memang butuh untuk charge energi dulu. Walaupun lombanya cuma 1 jam, tapi lumayan exhausted juga. Energinya abis buat regulasi emosi anaknya dan terutama untuk kelola emosi maknya. π π
Di perjalanan ke food court kita ngobrol. "Mama bangga sama Cia hari ini. Karena Cia sudah berani melawan rasa malunya, berani minta bantuan mama, dan sampaikan ke mama apa yang bisa mama lakukan untuk bantu Cia." kataku.
"Lain kali kalau Cia merasa butuh bantuan mama untuk apapun itu, jangan ragu bilang ke mama ya." Dia mengangguk senang.
Di food court mereka mulai sibuk memilih jajan masing-masing.
Di perjalanan pulang dari food court hati maknya kembali menghangat. Nakdis bilang "Hari ini mama bangga kan sama Cia, karena Cia udah bisa lawan rasa malu Cia. Dan karena Cia bilang ke mama kalau butuh bantuan mama."
Oh. How sweet. Aku langsung mengangguk mengiyakan. Bagiku pencapaian hari ini sudah sangat luar biasa. Terlepas dari hasil akhirnya nanti, setidaknya goal hari ini tercapai. Ketika nakdis bisa menyadari apa yang dirasakannya, dan tau bagaimana cara meregulasinya, belajar berani, melawan rasa takutnya, dan yang terpenting dia tau kalau mamanya selalu ada untuknya. Itu semua sudah lebih dari cukup.
Dan akhirnya, sebagai bonus perjuangan hari ini, nakdis meraih juara 1 lomba mewarnainya. Ending yang cukup manis untuk paket perjuangan lengkap hari ini ya nak π
Dari perjalan mendampingi nakdis hari ini aku belajar :
- Pentingnya mengajarkan tentang emosi ke anak, hal ini sangat membantu pada momen-momen seperti ini
- Orang tua juga butuh belajar untuk mengesampingkan egonya.